Semua orang pasti pernah merasa bersalah. Naif, jika ada orang yang mengatakan tak pernah bersalah sepanjang hidupnya.
Bahkan Nabi pun pernah berbuat salah. Suatu ketika, Nabi kedatangan seorang sahabat yang buta, Abdullan bin Ummi Maktum, yang meminta diajari ilmu agama, padahal saat itu Rasulullah sedang menerima tamu para pembesar Quraisy. Nabi pun seketika
berpaling dan bermuka masam. Lalu Allah menegurnya dengan turunnya firman dalam Al-Qur’an Surat ‘Abasa. Bedanya, Nabi bersalah, dia akan langsung diluruskan oleh-Nya. Itulah mengapa Rasulullah bersifat maksum, terhindar dari kesalahan. Berbeda dengan manusia biasa yang pada dasarnya memang mahallul khotto' wa nisyan, tempatnya salah dan lupa.
Kata orang bijak, salah itu bisa muncul karena kita bertindak. Banyak bertindak, banyak salah. Sedikit bertindak, sedikit salah. Tidak bertindak, tidak salah! Saya pikir logika itu masuk akal, ya? Si A mengerjakan sepuluh soal ujian dan salahnya tiga, nilainya 70. Si B mengerjakan 100 soal dan salah 15, nilainya 85. Bandingkan, lebih banyak mana kesalahan yang dilakukan oleh si A dengan si B. Lebih banyak si B, tetapi nilainya jelas tinggi si B.
Dalam mengeja kehidupan, jangan pernah takut berbuat salah. Untuk menjadi benar, seringkali kita memang harus melakukan serangkaian kesalahan. Tak ada orang yang begitu lahir langsung bisa naik sepeda. Dia harus mengalami jatuh bangun terlebih dahulu untuk bisa menguasai kendaraan roda dua itu. Untuk bisa menjadi pengusaha sukses, sangat jarang orang melewati track yang mulus-mulus saja. Pasti ada fase-fase di mana mereka justru melangkah di jalan yang salah.
Apa yang harus kita lakukan saat kita merasa bersalah?
Kita harus jujur kepada diri sendiri, bahwa kita memang bersalah. Jangan membuat legitimasi-legitimasi, pembenaran, apalagi mencari dukungan atau membanding-bandingkan dengan orang-orang yang sama-sama pernah melakukan kesalahan seperti yang kita lakukan. Misalnya, suatu saat anak kita mendadak menurun prestasinya karena kita tak sempat membersamainya. Tak perlu kita mencari-cari alasan, “Kan saya sibuk, kan sibuknya untuk umat dll.” Juga tak perlu melihat kondisi yang lebih parah dari kita, “Tuh, rata-rata wanita karir memang anaknya banyak yang prestasinya jeblok.”
Setelah jujur kepada diri sendiri, mari kita belajar mengakui kesalahan kita, terutama jika kesalahan itu berhubungan dengan pihak lain. Misalnya, suatu saat kita menyakiti sahabat kita. Katakan dengan jujur kepadanya, bahwa saya salah.
Meminta maaf
berpaling dan bermuka masam. Lalu Allah menegurnya dengan turunnya firman dalam Al-Qur’an Surat ‘Abasa. Bedanya, Nabi bersalah, dia akan langsung diluruskan oleh-Nya. Itulah mengapa Rasulullah bersifat maksum, terhindar dari kesalahan. Berbeda dengan manusia biasa yang pada dasarnya memang mahallul khotto' wa nisyan, tempatnya salah dan lupa.
Kata orang bijak, salah itu bisa muncul karena kita bertindak. Banyak bertindak, banyak salah. Sedikit bertindak, sedikit salah. Tidak bertindak, tidak salah! Saya pikir logika itu masuk akal, ya? Si A mengerjakan sepuluh soal ujian dan salahnya tiga, nilainya 70. Si B mengerjakan 100 soal dan salah 15, nilainya 85. Bandingkan, lebih banyak mana kesalahan yang dilakukan oleh si A dengan si B. Lebih banyak si B, tetapi nilainya jelas tinggi si B.
Dalam mengeja kehidupan, jangan pernah takut berbuat salah. Untuk menjadi benar, seringkali kita memang harus melakukan serangkaian kesalahan. Tak ada orang yang begitu lahir langsung bisa naik sepeda. Dia harus mengalami jatuh bangun terlebih dahulu untuk bisa menguasai kendaraan roda dua itu. Untuk bisa menjadi pengusaha sukses, sangat jarang orang melewati track yang mulus-mulus saja. Pasti ada fase-fase di mana mereka justru melangkah di jalan yang salah.
Apa yang harus kita lakukan saat kita merasa bersalah?
Kita harus jujur kepada diri sendiri, bahwa kita memang bersalah. Jangan membuat legitimasi-legitimasi, pembenaran, apalagi mencari dukungan atau membanding-bandingkan dengan orang-orang yang sama-sama pernah melakukan kesalahan seperti yang kita lakukan. Misalnya, suatu saat anak kita mendadak menurun prestasinya karena kita tak sempat membersamainya. Tak perlu kita mencari-cari alasan, “Kan saya sibuk, kan sibuknya untuk umat dll.” Juga tak perlu melihat kondisi yang lebih parah dari kita, “Tuh, rata-rata wanita karir memang anaknya banyak yang prestasinya jeblok.”
Setelah jujur kepada diri sendiri, mari kita belajar mengakui kesalahan kita, terutama jika kesalahan itu berhubungan dengan pihak lain. Misalnya, suatu saat kita menyakiti sahabat kita. Katakan dengan jujur kepadanya, bahwa saya salah.
Meminta maaf
Tentu ini hal yang sangat penting. Tak perlu merasa gengsi. Bahkan meminta maaf pun tetap bisa kita lakukan saat kita merasa tak bersalah.
Jika kesalahan kita merugikan, maka kita harus dengan legowo memberikan ganti rugi. Kalau kerugiannya bersifat non material, seperti sakit hati dan sebagainya, saya anjurkan kita meminta dia menghukum kita. Misalnya, “Aku tahu, kamu sakit hati. Saya sudah mengaku salah dan minta maaf, saya siap dihukum olehmu.”
Jangan ulangi! Keledai pun tak akan dua kali terjatuh di lubang yang sama. Tetapi, terkadang manusia lebih buruk dari keledai. Tak hanya sekali dua kali, tetapi berulang-ulang kali, bahkan menjadi kebiasaan. Memang sulit mengubah kebiasaan, karena yang namanya kebiasaan biasanya telah tertancap di alam bawah sadar. Tetapi, dengan kesadaran penuh, dengan semangat berubah, dan usaha keras untuk berubah, insya Allah karakter buruk yang melekat pada kita akan tereliminasi.
Evaluasi. Meski mungkin kesalahan itu tidak berhubungan dengan orang lain, tetap kita tak boleh menyepelekannya. Kita harus mengevaluasi, mengapa aku bisa berbuat salah. Nanti setelah melihat titik kesalahan itu, jangan takut untuk mengulangnya dan kembali melakukan kesalahan di bidang lain.
Jika kesalahan kita merugikan, maka kita harus dengan legowo memberikan ganti rugi. Kalau kerugiannya bersifat non material, seperti sakit hati dan sebagainya, saya anjurkan kita meminta dia menghukum kita. Misalnya, “Aku tahu, kamu sakit hati. Saya sudah mengaku salah dan minta maaf, saya siap dihukum olehmu.”
Jangan ulangi! Keledai pun tak akan dua kali terjatuh di lubang yang sama. Tetapi, terkadang manusia lebih buruk dari keledai. Tak hanya sekali dua kali, tetapi berulang-ulang kali, bahkan menjadi kebiasaan. Memang sulit mengubah kebiasaan, karena yang namanya kebiasaan biasanya telah tertancap di alam bawah sadar. Tetapi, dengan kesadaran penuh, dengan semangat berubah, dan usaha keras untuk berubah, insya Allah karakter buruk yang melekat pada kita akan tereliminasi.
Evaluasi. Meski mungkin kesalahan itu tidak berhubungan dengan orang lain, tetap kita tak boleh menyepelekannya. Kita harus mengevaluasi, mengapa aku bisa berbuat salah. Nanti setelah melihat titik kesalahan itu, jangan takut untuk mengulangnya dan kembali melakukan kesalahan di bidang lain.
He.em..
ReplyDelete