Tujuan hidup manusia sesungguhnya adalah untuk mengejar kehidupan akhirat yang kekal, bukan sekedar mengejar kehidupan duniawi. Ketika seseorang menjalankan hidup berdasarkan syarat agama, maka bukan tidak mungkin kebahagiaan dunia dan akhirat akan di dapatkan sekaligus.
SIAPA yang tidak ingin hidup bahagia di dunia? Seluruh manusia tentu sangat mendambakannya. Tetapi, sebagai Muslim, tentu saja tidak sekedar berharap bahagia di dunia, tetapi juga mulia di akhirat. Inilah harapan terdalam dari sanubari setiap insan beriman.
Akan tetapi, di era yang umat
Islam
terhegemoni oleh peradaban materialisme, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang mengalami disorientasi, sehingga iman di dadanya tidak lebih dari sekedar penguatan ritual semata. Belum sampai pada penguatan iman yang sesungguhnya, yakni bagaimana sejatinya hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan-Nya.
terhegemoni oleh peradaban materialisme, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang mengalami disorientasi, sehingga iman di dadanya tidak lebih dari sekedar penguatan ritual semata. Belum sampai pada penguatan iman yang sesungguhnya, yakni bagaimana sejatinya hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan-Nya.
Akibatnya jelas, perselisihan,
pertengkaran dan permusuhan masih acapkali mewarnai kehidupan umat Islam
sendiri. Bahkan tidak jarang terjadi di kalangan para pemimpin. Mungkin wajar
dari sisi kemanusiaan, dimana manusia memang sering salah dan lupa. Tetapi
sangat tidak relevan jika melihat secara mendalam bagaimana semestinya seorang
Muslim hidup di dunia ini.
Jika memang sama-sama memiliki
keinginan hidup bahagia di dunia dan mulia di akhirat, tidak mungkin seorang
Muslim akan bertindak ceroboh atau gegabah dalam kehidupan sehari-harinya.
Apalagi sampai melukai atau menjatuhkan orang lain dengan maksud-maksud yang
tidak semestinya.
Apabila hal itu terjadi, maka
bisa dipastikan bahwa dunia telah menjadi orientasi yang menjadikannya
kehilangan kendali untuk mempersiapkan diri bagi kemuliaan hidupnya di akhirat.
Dan, inilah sejatinya biang dari seorang Muslim tidak benar-benar mampu
menampilkan imannya dalam konteks yang lebih nyata dalam pola pikir,
tindak-tanduk ataupun perilakunya.
Boleh jadi masih mendirikan
sholat, membaca kitab suci. Tetapi, orientasi yang mewarnai pemikiran dan rasa
jiwanya tidak lebih dari sekedar urusan kesenangan dunia semata. Orang yang
demikian, biasanya akan sangat mudah menjatuhkan vonis yang menyengsarakan bila
ia pemimpin. Akan mudah memutus silaturrahim dan sangat gemar membicarakan
kekurangan saudara seimannya.
Jika ini terjadi pada diri
seorang Muslim, bukankah ini akan menciderai kemuliaan ibadah yang
dilakukannya. Bahkan mungkin tidak sekedar menciderai tetapi akan
menghanguskannya. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak sepatutnya menjadikan
kehidupan dunia ini sebagai tujuan. Kembalilah pada ajaran Islam, jadikan dunia
sebatas sarana meraih kebahagiaan hakiki.
Akhirat yang Utama
Dalam logika manusia, untuk
bahagia di dunia maka harus melakukan banyak usaha untuk kesenangan pribadinya,
selagi masih hidup. Logika ini sepintas benar, tetapi sesat. Mengapa? Jika
memang demikian adanya, Allah tidak perlu mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
alayhi wasallam membimbing umat manusia. Artinya, logika itu salah.
Al-Qur’an telah memberikan
bukti sejarah akan hal tersebut. Bagaimana orang yang berkuasa dan kaya
ternyata harus mati dalam kondisi mengenaskan lagi terhina. Termasuk kehidupan
kaum-kaum terdahulu, yang sangat gagah, canggih, modern, tetapi akhirnya binasa
seketika.
0 komentar:
Post a Comment