Friday, February 10, 2017

Mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat


Tujuan hidup manusia sesungguhnya adalah untuk mengejar kehidupan akhirat yang kekal, bukan sekedar mengejar kehidupan duniawi. Ketika seseorang menjalankan hidup berdasarkan syarat agama, maka bukan tidak mungkin kebahagiaan dunia dan akhirat akan di dapatkan sekaligus.









SIAPA yang tidak ingin hidup bahagia di dunia? Seluruh manusia tentu sangat mendambakannya. Tetapi, sebagai Muslim, tentu saja tidak sekedar berharap bahagia di dunia, tetapi juga mulia di akhirat. Inilah harapan terdalam dari sanubari setiap insan beriman.
Akan tetapi, di era yang umat Islam
terhegemoni oleh peradaban materialisme, tidak sedikit dari kalangan umat Islam yang mengalami disorientasi, sehingga iman di dadanya tidak lebih dari sekedar penguatan ritual semata. Belum sampai pada penguatan iman yang sesungguhnya, yakni bagaimana sejatinya hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan-Nya.
Akibatnya jelas, perselisihan, pertengkaran dan permusuhan masih acapkali mewarnai kehidupan umat Islam sendiri. Bahkan tidak jarang terjadi di kalangan para pemimpin. Mungkin wajar dari sisi kemanusiaan, dimana manusia memang sering salah dan lupa. Tetapi sangat tidak relevan jika melihat secara mendalam bagaimana semestinya seorang Muslim hidup di dunia ini.
Jika memang sama-sama memiliki keinginan hidup bahagia di dunia dan mulia di akhirat, tidak mungkin seorang Muslim akan bertindak ceroboh atau gegabah dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi sampai melukai atau menjatuhkan orang lain dengan maksud-maksud yang tidak semestinya.
Apabila hal itu terjadi, maka bisa dipastikan bahwa dunia telah menjadi orientasi yang menjadikannya kehilangan kendali untuk mempersiapkan diri bagi kemuliaan hidupnya di akhirat. Dan, inilah sejatinya biang dari seorang Muslim tidak benar-benar mampu menampilkan imannya dalam konteks yang lebih nyata dalam pola pikir, tindak-tanduk ataupun perilakunya.
Boleh jadi masih mendirikan sholat, membaca kitab suci. Tetapi, orientasi yang mewarnai pemikiran dan rasa jiwanya tidak lebih dari sekedar urusan kesenangan dunia semata. Orang yang demikian, biasanya akan sangat mudah menjatuhkan vonis yang menyengsarakan bila ia pemimpin. Akan mudah memutus silaturrahim dan sangat gemar membicarakan kekurangan saudara seimannya.
Jika ini terjadi pada diri seorang Muslim, bukankah ini akan menciderai kemuliaan ibadah yang dilakukannya. Bahkan mungkin tidak sekedar menciderai tetapi akan menghanguskannya. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak sepatutnya menjadikan kehidupan dunia ini sebagai tujuan. Kembalilah pada ajaran Islam, jadikan dunia sebatas sarana meraih kebahagiaan hakiki.
Akhirat yang Utama
Dalam logika manusia, untuk bahagia di dunia maka harus melakukan banyak usaha untuk kesenangan pribadinya, selagi masih hidup. Logika ini sepintas benar, tetapi sesat. Mengapa? Jika memang demikian adanya, Allah tidak perlu mengutus Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam membimbing umat manusia. Artinya, logika itu salah.
Al-Qur’an telah memberikan bukti sejarah akan hal tersebut. Bagaimana orang yang berkuasa dan kaya ternyata harus mati dalam kondisi mengenaskan lagi terhina. Termasuk kehidupan kaum-kaum terdahulu, yang sangat gagah, canggih, modern, tetapi akhirnya binasa seketika.

Jelas, mereka memiliki kekuatan materi di dunia, tetapi mereka tidak bahagia. Sebaliknya, para Nabi dan Rasul, kecuali Nabi Sulaeman Alayhissalam, seluruhnya hidup biasa-biasa saja. Namun, mereka sangat bahagia. Bahkan Allah menyebut mereka semua yang mulia itu sebagai orang-orang yang beruntung. 

0 komentar:

Post a Comment